Kisah Petani Dapatkan Sertifikat RSPO

Petani harus bekerja keras guna meraih sertifikat RSPO. Bukan hanya soal beradaptasi dengan tata kelola kebun.Tetapi menghadapi masalah biaya sertifikasi. Masih bergantung kepada bantuan luar negeri. 

Pertama kali menggunakan helm, kepala Koripudin seringkali. Helm ini dipakai sebagai bagian prosedur keselamatan berkebun. Pria yang akrab dipanggil Korip mengaku sulit beradaptasi dengan standar budidaya sawit RSPO. Kesulitan lainnya adalah memakai sepatu boot di kebun.
“Waktu pakai helm, kepala saya merasa pusing dan helm jatuh ke ke bawah ketika sedang panen. Selain itu, jalan pakai sepatu boot juga susah kalau di kebun,” kata Korip.
Walaupun sulit Koripudin, tetap harus menjalankan prosedur keamanan tersebut. Sebab, sebagai anggota Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) Tanjung Sehati, Jambi, sedang mengajukan sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Dalam standar RSPO, salah satu kriterianya adalah prosedur keselamatan kerja.
Koripudin selaku Sekretaris Kelompok Tani Sumber Hasil yang merupakan kelompok tani dari enam kelompok tani yang ada di Gapoktan Tanjung Sehati. Kehadiran Yayasan Setara Jambi cukup membantu Gapoktan Tanjung Sehati untuk memperoleh sertifikat RSPO semenjak 2013 .
M. Solikin , Sekretaris Gapoktan Tanjung Sehati, mengatakan partisipasi dalam sertifikat RSPO ditujukan pula untuk menjawab tudingan perusakan lingkungan yang diarahkan kepada petani.
“Kami mulai dari nol sama sekali dan tidak mengetahui apa itu RSPO. Paling utama, ingin menjawab isu dan kampanye dari luar negeri mengenai kerusakan ekosistem sehingga bukan petani yang disalahkan disalahkan,” ucap Solikin.
Untuk mendapatkan sertifikat RSPO, petani diwajibkan mengikuti 8 prinsip dan 39 kriteria yang disusun RSPO. Hanya saja, beberapa indikator untuk petani lebih ringan. Semisal masalah legalitas lahan apabila perusahaan butuh HGU. Sementara, petani swadaya cukup surat keterangan dari pihak berwenang dan lahan yang digunakan bukan dalam proses sengketa. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi petani mandiri menurunkan emisi karbon.
“Perbedaan lebih kepada kebutuhan yang dapat diterapkan petani mandiri tanpa meminggirkan nilai dan prinsip-prinsip keberlanjutan. Kami lebih mendorong petani mandiri untuk menerapkan good agriculture practice seperti pemupukan, aplikasi pestisida, aplikasi material awal. Sebab, masih banyak petani belum menerapkannya,” ungkap Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia.
Triyan Aidil Fitri, Senior Manager Management System Certification PT Sucofindo, mengungkapkan proses preliminary audit merupakan aplikasi awal dalam sertifikasi untuk memeriksa kelengkapan kesiapan proses sertifikasi.
“Diawal sudah kami deteksi dan jika pemohon tidak memenuhi persyaratan. Artinya proses pengajuan tidak akan dilanjutkan. Mereka harus perbaiki dulu kalau baru setelah itu ke proses audit atau sertifikasi,” ungkapnya. Dalam, fase main audit ditambahkan Triyan Aidilfitri merupakan penilaian secara utuh dan menyeluruh.
Solikin mengakui fase pre audit merupakan hal yang berat bagi petani. Penyebabnya, ketika audit iseperti diinterogasi oleh auditor.“Kalau tidak didampingi Setara Jambi, pasti bingung karena pertanyaan yang diajukan sulit dimengerti,” katanya.
Tak hanya soal komunikasi, penerpaan dokumentasi dan praktik pengelolaan kebun kerap menyulitkan petani. Petani yang sebelumnya bekerja sesuka hati wajib beradaptasi kegiatan dokumentasi seperti jadwal dan hasil panen, penggunaan pupuk dan pestisida, bukti penjualan. Jalal Sayuti, Ketua Gapoktan Tanjung Sehati, menjelaskan banyak hal yang harus diubah dalam pengelolaan kebun untuk meraih sertifikasi.
“Proses sertifikasi akan merubah pola konvesional menjadi lebih teroganisir seperti pengelolaan kebun, pencatatan panen, pupuk pestisida, keselamatan kerja, dan tidak boleh membawa anak untuk kerja di kebun. Dan itu cukup sulit, banyak petani yang mengeluh kepalanya sakit karena memakai helm di kebun. Kalau sebelumnya, pelepah ditaruh sembarang kini mulai disusun rapih,” ujar Jalal.
Good Agricultural Pratice (GAP) adalah nilai mutlak bagi implementasi RSPO, tak terkecuali bagi petani. Kendati berat, kata Jalal Sayuti, sudah ada manfaat yang dirasakan oleh petani. Contohnya saja, mengurangi penggunaan bahan kimia, takaran pemupukan, dan masa panen yang lebih teratur. “Walaupun setelah audit, masih ada petani yang sembarangan dalam kelola kebun. Lantaran tidak terbiasa untuk diatur,” tambah Jalal.
Hingga saat ini baru ada satu kelompok petani mandiri yang mendapatkan sertifkat RSPO di Indonesia yakni Asosiasi Petani Sawit Amanah, Riau yang meraih sertifikat RSPO pada Juli 2013. Sedangkan Gapoktan Tanjung Sehati belum mendapatkan sertifikatnya sejak selesai main audit pada Desember 2013. “Untuk Tanjung Sehati ini memang masih 3 bulan ini menurut kami masih wajar. Untuk sertifikasi petani memang cukup panjang waktunya dari mulai persiapan, pre-audit, dan main audit sepertinya memakan waktu hingga satu tahun,” jelas Desi.

MASALAH BIAYA

Tidak dapat dipungkiri, biaya sertifikasi RSPO menjadi kendala petani untuk terlibat dalam standar ini. Gambaran kebutuhan dana, kata Tuti Suryani Sirait, Senior Lead Auditor PT Sucofindo secara umum pemohon sertifikasi RSPO menyiapkan biaya sekitar Rp 100 juta hingga Rp 125 juta untuk biaya audit oleh lembaga sertifikasi. Besaran biaya ini berdasarkan kebutuhan seperti berapa lama proses audit berlangsung, biaya administrasi, biaya perjalanan ke lokasi, dan biaya pembuatan laporan.
“Untuk sertifikasi RSPO, satu auditor mendapatkan honor Rp 5 juta per hari. tinggal dihitung saja berapa orang auditor dan waktunya berapa lama. Memang, setiap lembaga auditor punya tarif berbeda. Faktor penentu biaya antara lain luas kebun dan jumlah pabrik sawit,” jelas Tuti.
Beruntung bagi kelompok petani yang mendapatkan pendampingan LSM. Karena tidak lagi pusing memikirkan biaya sertifikasi. Jalal Sayuti mengakui soal biaya sertifikasi dari awal sampai proses audit Gapoktan Tanjung Sehati diurus Yayasan Setara Jambi. Dana ini berasa dari bantuan Kedutaan Besar Belanda.
Desi Kusumadewi menyadari kendala biaya yang dihadapi untuk mengikuti proses sertifikasi RSPO petani mandiri. Itu sebabnya, semenjak Oktober 2012 RSPO memberikan bantuan pendanaan bagi petani mandiri melalui skema bantuan dana RSPO Smallholders Suport Fund (RSSF).
Dana RSSF berasal dari 10 persen alokasi penjualan Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) ditambah 50 persen surplus pemasukan selama tahun fiskal. Melansir data RSPO pada Maret 2013, dana RSSF mampu diberikan maksimal tiga tahun. Namun menurut Desi dana RSSF hanya bisa diberikan dua kali yakni untuk main audit dan satu kali monitoring. Sertifikat RSPO sendiri punya lima tahun masa berlaku dengan pelaksanaan monitoring setiap tahunnya.
Yayasan Setara Jambi juga berencana mengajukan bantuan dari dana RSSF pada 2015 bagi kegiatan monitoring. “Kegiatan monitoring berikutnya kami minta dari RSPO. Jika tidak dapat ya putus saja RSPO-nya. Sebab, monitoring itu hanya teknis memeriksa kertas. Kalau memang organisasi petani sudah baik kenapa harus diperiksa,” papar
Rukaiyah Rofiq, Direktur Yayasan Setara Jambi.
Kegiatan monitoring bertujuan memastikan standar RSPO berjalan baik. Yang menjadi masalah, monitoring berjalan setiap tahun yang juga memerlukan dana cukup besar.
Yang menjadi masalah ketika petani tidak punya dana untuk melakukan monitoring. Lalu bagaimana nasib sertifikat RSPO-nya? Yang cukup mengkhawatirkan kelompok tani ini akan bergantung kepada LSM pendamping dan bantuan donor.
Bagaimana dengan bantuan pemerintah? Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, menegaskan pemerintah sedang fokus menjalankan sertifikat ISPO kepada petani dan perusahaan. Masalah pembiayaan diserahkan kepada RSPO selaku lembaga yang mengurusi masalah tersebut. “Fokus kami kepada implementasi ISPO saja,” ujarnya.

HARGA PREMIUM

Tak hanya perusahaan sawit, kalangan petani penerima sertifikat RSPO juga mengharapkan harga premium TBS. Sunarno, Ketua Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah mengakui bahwa insentif harga TBS yang diperoleh setelah dapat sertifikat RSPO memang cukup besar. Jumlah insentif ini dapat mencapai Rp 40-Rp 50 per kilogram lebih tinggi dari harga jual buah sawit di pasaran. Sebagai gambaran, harga beli TBS di bulan Maret mencapai Rp 2.011 per kilogram. Lebih tinggi daripada bulan sebelumnya berjumlah Rp 1.928 per kilogram.
Hasil panen mereka dibeli oleh PT Asian Agri kebun Ukui. Setiap bulan, Asosiasi Petani sawit Swadaya Amanah yang memiliki 349 anggota, mampu menghasilkan 2 ton TBS per bulan. Luas lahan mencapai 763 hektare.
“Insentif yang kita dapat sebagian sebagian kita beri ke petani, sebagian kita masukan ke asosiasi untuk beragam kebutuhan yang berkaitan dengan sustainability juga, dan juga untuk persiapan surveilance tiap tahun dari RSPO,”ungkapnya.
Insentif lebih yang didapatkan juga dipergunakan Asosiasi Amanah untuk melakukan pengembangan bagi para petani anggotanya melalui pembentukan unit-unit yang memeiliki fungsi dan tanggung jawab yang spesifik seperti unit semprot, unit sensus. Ataupun pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan para anggotanya.“Beragam peraturan telah kita ikuti, kualitas mutu juga kita pertahankan, karena kalau ini tidak dilakukan, secara bisnis perusahaan juga tidak mau memperhitungkan,”papar Sunarno.
Menurut Rukaiyah Rofiq manfaat implementasi RSPO bagi petani mandiri adalah pembangunan organisasi. Soal nilai tambah ekonomis seperti yang dijanjikan RSPO kurang sepadan bila dibanding biaya yang dikeluarkan untuk sertifikasi.
“Karena begini, harga premium yang ditawarkan misal melalui book and claim itu kan tidak menarik kalau dikomparasi dengan biaya persiapan menuju sertifikasi, harga yang ditawarkan di pasar internasional kita malah defisit,” kata perempuan yang akrab disapa Uki ini.
Book and claim yang dimaksud Uki merupakan salah satu mekanisme penjualan rantai pasok RSPO melalui penjualan sertifikat Greenpalm, satu sertifikat memuat 1 ton CSPO atau Certified Palm Kernel Oil (CSPKO). Hingga April 2014 di laman Greenpalm harga satu sertifikat CSPO hanya $ 2,5 dan $ 40 untuk CSPKO. “Kita tidak tahu malah kalau ada harga premium karena tidak untuk arah ke sana,” kata Jalal Sayuti.
Keuntungan ekonomis yang diharapkan memang sulit diharapkan dari RSPO. Sebab, akan bergantung kepada komitmen dari produsen barang konsumen yang memakai produk sawit dan konsumen. Asosiasi Petani Sawit Amanah, Riau contohnya produksi CSPO dibeli oleh Unilever, atau kelompok petani di Thailand yang juga telah bersertifikat RSPO menjadi pemasok bahan baku CSPO ke Johnson&Johnson.
Kedua contoh tersebut melakukan transaksi langsung mekanisme book and claimsecara off market deal (OMD). Sehingga harga jualnya tidak terlihat di laman Greenpalm, namun menurut Desi harga yang ditawarkan cukup besar.
Rantai pasok yang panjang dari petani menuju konsumen akhirmemang jadi hambatan dalam penentuan harga buah sawit petani. Menurut Desi, pabrik pengolahan sebagai pembeli pertama buah sawit petani perlu mendukung upaya petani mandiri dalam upaya sustainability.
Koripudin berharap setelah mendapatkan sertifikat RSPO akan berpengaruh baik harga beli TBS. Sebagaimana yang didapatkan , Asosiasi Petani sawit Swadaya Amana. Selain mengelola kebun dengan baik, Korip ingin ada kejelasan sekaligus harga yang baik bagi hasil panennya. “Harapannya memang seperti itu, dan memang itu yang ditunggu-tunggu,” ujar Korip sambil berharap. (Anggar Septiadi/Qayuum)
Sumber:www.sawitindonesia.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Petani Dapatkan Sertifikat RSPO"

Posting Komentar

latest tweets

flickr photos

random posts

About us

recent posts

random posts

three columns