Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global, diperlukan gerakan global mengganti energi fosil dengan biofuel. Penggunaan energi biofuel generasi pertama (first generation biofuel) yakni dari produksi pertanian/perkebunan dinilai tidak berkelanjutan karena akan menciptakan persaingan penggunaan hasil pertanian untuk pangan dan energi (trade-off fuel-food).
Oleh karena itu kebijakan energi Masyarakat Uni Eropa (European Union’s Renewable Energy Directives, RED) maupun di Amerika Serikat (US Renewable Fuels Standard, RFS) merekomendasikan penggunaan energi biofuel generasi kedua (second generation biofuel) seperti biomas sebagai energi paling berkelanjutan dunia (Naik, et al. 2010).
Kebun sawit Indonesia memberikan peran dan kontribusinya dalam kebijakan energi masa depan dunia tersebut. Selain menghasilkan energi generasi pertama (biodiesel, FAME), kebun sawit Indonesia juga menghasilkan energi generasi kedua (biomas) yang cukup besar dan bahkan lebih besar dari volume biomas gabungan yang dihasilkan kedelai, repeseed dan bunga matahari.
Kebun sawit menghasilkan biomas sawit berupa tandan kosong (empty fruit bunch), cangkang dan serat buah (oil palm fibre and shell), batang kelapa sawit (oil palm trunk) dan pelepah kelapa sawit (oil palm fronds). Hasil study Foo-Yuen Ng, et al (2011) menunjukan bahwa untuk setiap hektar kebun sawit dapat menghasilkan biomas sekitar 16 ton bahan kering (dry matter) per tahun. Produksi biomas sawit tersebut sekitar tiga kali lebih besar dari produksi minyak sawit (CPO) sebagai produk utama kebun sawit. Dengan luas kebun sawit Indonesia tahun 2015 sekitar 11 juta hektar, maka produksi biomas dapat mencapai 182 juta ton setiap tahun.
Biomas kebun sawit dapat diolah menjadi bioetanol (pengganti premium/gasoline). Menurut pengalaman KL Energy Corporation (2007) setiap ton bahan kering biomas dapat menghasilkan 150 liter etanol. Hal ini berarti dengan produksi biomas kebun sawit Indonesia sebesar 182 juta ton per tahun, dapat menghasilkan 27 juta kilo liter etanol setiap tahun atau hampir 60 persen dari kebutuhan premium di Indonesia. Dengan volume produksi etanol dari biomas sawit yang demikian, bukankah kebun sawit Indonesia sebagai “tambang” etanol atau biopremium besar?
Selain biomas dari kebun sawit juga potensial memanfaatkan POME (Palm Oil Mill Effluent) melalui tanki digester biogas (methane capture) untuk menghasilkan biogas/biomethane. Dengan produksi POME sebesar 147 juta ton per tahun maka mampu menghasilkan 4127 juta kubik biogas setiap tahun. Biogas ini dapat mengurangi konsumsi gas alam atau digunakan untuk pembangkit tenaga listrik (biolistrik).
Dengan kata lain kebun sawit penghasil energi terbarukan secara berkelanjutan yakni biodiesel, bioetanol dan biogas/biolistrik. Ketiga energi terbarui tersebut dapat menjadi pengganti energi tak terbarui (energi fosil). Biodiesel pengganti solar, bioetanol pengganti premium dan biogas pengganti gas bumi.
Uniknya biofuel kebun sawit tersebut, diproduksi secara bersama (joint product) dan tidak saling menggantikan (tradeoff). Sepanjang matahari masih bersinar, produksi minyak sawit dan produksi biomas akan berkelanjutan. Sehingga produksi biofuel juga akan berkelanjutan.
0 Response to "Biofuel sawit akan terus berkembang dan sangat layak mengganti energi fosil"
Posting Komentar